Tidak Berlapang Dada
Sobat semua, ungkapan buruk muka cermin dibanting ini cocok untuk
menggambarkan orang yang tidak bisa
untuk berlapang dada. Kalo emang salah,
akui kesalahan.Sportif gitu lho. Kalo emang gagal, akui
kegagalan. Jangan malah marah dan nunjuk
orang lain sebagai biang kesalahan kita. Padahal, kitanya aja yang emang
salah dan nggak bisa.
Sikap lapang dada ini harus dipupuk sejak anak-anak. Kejujuran dan
mau mengakui keunggulan orang lain harus dibiasakan sejak usia dini. dan, kalau
pun sekarang kita udah pada gede, maka mulailah belajar untuk lapang dada.
Belum telat kok. Sebab, daripada capek-capek menyalahkan orang lain, lebih baik
mengevaluasi kemampuan diri sendiri. Simpel. Mudah pula. Iya kan?
Saya dulu pernah dimarahin waktu ngaji di pondok karena
mnegingatkan kakak kelas yang sedang merokok . Karena memang di pondok nggak boleh merokok. Eh, bukannya kemudian
menemukan titik temu atau paling nggak menanyakan lebih lanjut, dia malah
bilang, “Saya tuh empat tahun di sini. Tapi nggak setakut itu sama peraturan
kayak kamu. Lagian peraturan dibuat untuk di langgar.”
Dia bilang begitu mungkin karena melihat saya sebagai anak baru.
Padahal, kalo mau berlapang dada, kan bisa nanya baik-baik, “Memangnya kamu
tahu dari mana? Bagaimana penjelasannya?”. Kan bisa diskusi tuh. Jangan
langsung bilang begitu sampe kudu banding-bandingin lamanya nyantri segala.
Sebab, sangat percuma juga nyantri empat tahun atau mungkin lebih kalo di
pesantren kerjanya cuma tidur melulu. Atau kalo pun belajar, tapi nggak serius.
Setiap ikutan kajian cuma masuk telinga kanan, keluar lagi telinga kiri. Setiap
dinasehatin Cuma di kacangain.jadi yang
bener tuh dibiarkan memantul sempurna alias nggak ada yang masuk. Gimana mau
jadi orang bener?
Suatu ketika saya dapat kabar acara seminar di Jakarta. Waktu itu
pembicaranya emang orang-orang terkenal. Nggak enak deh kalo disebutin namanya.
Ketika salah seorang di antara mereka memberikan penjelasan tentang argumennya,
pembicara kedua dengan sinis menyindir pernyataan pembicara pertama (nyindirnya
pribadi lagi), dengan mengatakan, “Apakah Anda tahu silsilah hadis itu? Siapa
perawinya?” Dia berani mengatakan begitu kebetulan alumni sebuah pesantren
terkenal juga di negeri ini. Sementara yang disindir, adalah mantan selebritis yang
baru bertobat dan insyaf mau mendalami Islam. Jadi, alih-alih didukung malah
diserang (mungkin karena ia merasa tersaingi atau sok tahu?). Kacau banget kan?
Sobat semua, sikap lapang dada untuk menerima masukan itu
sebenarnya nggak susah. Kalau kita mau
terus merenung tentang kondisi kita. Kita semua
kan manusia. Punya kelemahan dan keterbatasan. Maka dari itu, kita
membutuhkan dukungan dari orang lain. Dan, yang biasanya lebih mudah menilai
kita ya orang lain. Ibarat cermin, kita itu akan dilihat oleh orang lain. Kan
belum ada ceritanya kita bisa ngelihat wajah kita sendiri kalo nggak pake
cermin atau benda sejenisnya yang bisa memantulkan gambaran diri kita. Iya kan?
Cermin memantulkan wajah asli kita. Begitu juga orang-orang di
sekitar kita yang akan memberikan masukan kepada kita. Kalo kita salah, di
antara mereka ada yang ngasih tahu kita. Jangan merasa menang sendiri. Coba
deh, misalnya kita habis bersih-bersih kelas. Terus, lupa pake penutup kepala,
. Ketika ada orang yang bilang, “Mas, kae
rambute kebak sawang!”. Nah, karena kita nggak bawa cermin, orang lain yang
lihat itulah yang mengingatkan karena tahu penampilan diri kita. Maka, dengan
lapang dada kita ngucapin “Suwun mbak!”.
Betul? Kalo kita malah marah? Nggak tahu diri namanya.
Sama halnya saat kita berbuat maksiat, kemudian ada orang lain
yang mengingatkan kita. Sikap yang bagus tentunya kita berterima kasih karena
ada orang yang mau mengingatkan kita. Sikap yang sama sekali nggak elok dan
mungkin bisa dibilang bodoh adalah malah balik menyerang. “Kamu tahu apa sih
tentang agama? Jangan khotbah di depan saya!” atau kata-kata sinis lainya, “Ah,
kamu kan nggak tahu apa-apa dibanding kami yang merasakan. Nggak usah nasihatin
kami. Percuma!” Wah, itu namanya nggak lapang dada. Tapi melakukan argumentum
ad hominem. Iya kan? Nggak baik sobat.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia buletin mansa. Seorang
teman penah cerita. Ini kejadian nyata. Ceritanya begini, sebuah perusahaan
media dakwah Islam mengangkat seorang distributor untuk membantu mengelola
distribusi medianya di sebuah kota. Tapi ternyata sang distributor itu malah
melakukan kesalahan dengan ‘menilap’ uang setoran. Mungkin kepepet atau merasa
bisa bayar suatu saat nanti dia nekat melakukannya. Parahnya, yang dilakukannya
itu tidak diberitahukan kepada perusahaan. Mungkin malu. Tapi karena mungkin
kecanduan, uang itu keterusan tidak disetorkan. Atau mungkin kebutuhan hidup mendesaknya untuk
melakukan itu, maka uang setoran yang seharusnya disetor ke perusahaan media
dakwah Islam tersebut malah keenakan dipake terus, akhirnya numpuk jadi utang
yang tidak bisa dibayarnya.
Nah, ketika dilakukan audit oleh perusahaan, akhirnya ketahuan
kalo dia emang jelas-jelas memakai uang itu. Karena masalahnya memang serius
dan membahayakan masa depan perusahaan, akhirnya Distributor itu dipecat. Tapi,
yang bersangkutan malah bilang, “Kerja dengan pengemban dakwah kok kayak kerja
dengan orang lain aja” (sensor: dia kabarnya nyebut nama etnis tertentu).
Dengan bilang begini, sebenarnya ia udah melakukan argumentum ad hominem. Payah banget kan?
Udah jelas-jelas dia salah, masih sempat-sempatnya menyalahkan perusahaan.
Jelas nggak tahu malu dan nggak tahu diri. Bilang maaf ato gimana-lah, seperti,
“Afwan, saya memang waktu itu lagi kepepet. Jadi saya pakai uang setoran ini
tidak bilang dulu. Jika memang itu keputusan final dari perusahaan dengan
memberhentikan saya, saya bersedia menerimanya dan saya siap memgembalikan uang
yang saya pake.” Tuh, enak kan kalo mau jujur dan berani bertanggung jawab?
Nggak ribet. Tapi, kayaknya jaman sekarang jarang yang bisa begitu.
Menimpakan kesalahan kepada orang lain atas kegagalan kita emang
sikap yang jelek banget. Anehnya, kebanyakan kita ternyata lebih memilih untuk
melakukan argumentum ad hominem tadi. Menuding orang lain dan
menyalahkannya atas ketidakmampuan kita. Itu sih bisa dikatakan buruk muka
cermin dibanting. Tidak benar dan memang
tidak baik.
Ada sedikit nasihat nih. Kita diperintahkan beramal secara continue alias berkesinambungan atau
rutin walau perlahan-lahan. Inilah yang diperintahkan oleh Rasul SAW
pada Hanzhalah, di
mana Hanzhalah salah seorang sahabat yang menjadi juru tulis Rasul SAW. Beramal yang berkesinambungan
walau sedikit ini adalah amalan yang paling disukai Allah Ta’ala. Kisah
Hanzhalah berikut mengajarkan pada kita untuk rajin-rajin muhasabah atau
introspeksi diri.
Dari Hanzholah al-Usayyidiy -beliau adalah di antara juru tulis
Rasul SAW-, ia berkata, “Abu Bakr
pernah menemuiku, lalu ia berkata padaku, “Bagaimana keadaanmu wahai
Hanzhalah?” Aku menjawab, “Hanzhalah kini telah jadi munafik.” Abu Bakr
berkata, “Subhanallah, apa yang engkau katakan?” Aku menjawab, “Kami jika
berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kami teringat neraka dan surga sampai-sampai kami seperti melihatnya di hadapan
kami. Namun ketika kami keluar dari majelis Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam dan
kami bergaul dengan istri dan anak-anak kami, sibuk dengan berbagai urusan,
kami pun jadi banyak lupa.” Abu Bakr pun menjawab, “Kami pun begitu.”
Kemudian Hanzhalah dan Abu Bakr pergi menghadap Rasul SAW lalu beliau berkata, “Wahai
Rasulullah, jika kami berada di sisimu, kami akan selalu teringat pada neraka
dan surga sampai-sampai seolah-olah surga dan neraka itu benar-benar nyata di
depan kami. Namun jika kami meninggalkan majelismu, maka kami tersibukkan
dengan istri, anak dan pekerjaan kami, sehingga kami pun banyak lupa.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Demi Rabb yang jiwaku berada di
tangan-Nya. Seandainya kalian mau berkesinambungan dalam beramal sebagaimana
keadaan kalian ketika berada di sisiku dan kalian terus mengingat-ingatnya,
maka niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidurmu dan di
jalan. Namun Hanzhalah, lakukanlah sesaat demi sesaat.” Beliau
mengulanginya sampai tiga kali. (HR Muslim no. 2750)
Yang terpenting adalah beramal shalih terus. Perbaiki diri, selalu
berbenah agar lebih baik di setiap hari yang kita lalui. Bila ada kegagalan,
jangan salahkan orang lain. Salahkan pertama kali diri kita sendiri. Lalu,
berusaha untuk memperbaiki dan bangkit kembali. Siap!! ya? Harus!
Komentar
Posting Komentar